Jumat, 19 Oktober 2012

Pengendalian Sosial dari Penyimpangan dalam Kultur Masyarakat


Apakah tujuan dari pendidikan itu? Pertanyaan itu selalu muncul di kalangan orang yang tidak mampu mengemban pendidikan secara total maupun di kalangan orang ‘berpendidikan’ sekalipun. Ketika orang mendengar kata ‘pendidikan’ tentunya mereka akan berpikir tujuan apa yang hendak dicapai oleh kegiatan ‘pendidikan’ tersebut. Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, dan H. Zakky Mubarak menulis sebuah buku pengembangan kepribadian yang mengemukakan tujuan dari pendidikan sebenarnya dengan mengkaji dasar-dasar yang dibutuhkan dalam usaha penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter.

Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H. Zakky Mubarak. 2011) pendidikan adalah aktivitas untuk menghasilkan manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Sesuai dengan tujuannya, untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas maka Filsafat, Logika, Etika, Kekuatan dan Keutamaan Karakter menjadi hal yang sangat pokok agar seseorang mampu mengembangkan kepribadian yang baik untuk dapat terjun ke masyarakat.

Kajian pertama adalah Filsafat. Apakah Filsafat itu? Dalam bentuk nomina, filsafat dapat diartikan sebagai suatu sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematik, dan universal. Radikal berarti mendalam (deep thinking). Sistematik adalah logis, menggunakan premis-premis secara benar sebelum menyimpulkan sesuatu. Berpikir secara universal berarti luas, menyeluruh, mendunia, berlaku untuk semua orang, tidak picik, tidak terbatas pada suatu bangsa, negara, lingkungan, kelompok, atau masyarakat tertentu saja.
Kajian kedua adalah Logika. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Di dalam kajian Logika juga dikenal Sesat Pikir yang berarti kekeliruan dalam penalaran berupa penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi (dalam Takwin. 2011 : 67) sesat pikir adalah perbincangan yang mungkin terasa betul, tetapi setelah diuji terbukti tidak betul. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan dan diwaspadai agar tidak terjadi salah pengertian dalam mengartikan suatu hal.
Kajian ketiga adalah Etika. Bertenz (dalam Mubarak. 2011 : 97) menyatakan bahwa etika berarti ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan demikian, seseorang mencari orientasi dan menetapkan cara-cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, tidak ikut-ikutan saja dengan berbagai kalangan, tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan dapat mempertanggungjawabkannya (Magnis-Suseno dalam Mubarak. 2011 : 97). Berbeda dengan ajaran moral, ajaran moral berupa ketetapan-ketetapan, pakem, kumpulan peraturan, pedoman-pedoman – baik lisan maupun tertulis – yang bersumber dari agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan sumber-sumber lain yang mengatur perilaku agar menjadi manusia yang baik. Seseorang bebas bertindak sesuai dengan etika dan moral yang telah ditetapkan. Tindakan seseorang tersebut akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap dirinya apakah tindakannya bermoral/etis atau tidak bermoral/tidak etis. Berbicara tentang kepribadian moral yang kuat, sikap realistis dan kritis merupakan wujud dari hal yang terpuji dari orang-orang yang mengembangkan etika dan moral. Dengan sikap ini, orang melihat segala sesuatu yang dihadapi sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak menolak realitas yang terdapat dalam masyarakat. Tanggung jawab moral menuntut agar seseorang terus-menerus memperbaiki apa yang dihadapi supaya menjadi lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih bahagia.
Kajian yang terakhir adalah Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan karakter yang kuat (Dewantara dalam Takwin. 2011: 115). Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Menurut Seligman (dalam Takwin. 2011: 115), tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat pencapaian kebahagiaan. Jadi, jika kita ingin bahagia, maka kita harus mulai dengan belajar berfikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal yang baik, serta  memaknai dunia dan seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita.

Melihat pembahasan di atas, terlihat bahwa tujuan pendidikan merupakan masalah pembentukan kepribadian agar seseorang mampu berkembang di masyarakat dan mampu memberikan kontribusi secara nyata untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Pendidikan memperjuangkan kapabilitas seseorang agar mampu berfungsi di masyarakat sesuai dengan peran dan kemampuan yang dimiliki. Masih banyak orang yang membutuhkan pendidikan secara utuh, penuh, dan berkualitas. Uraian Takwin, Finoza, dan Mubarak itu dapat dikaji untuk menunjukkan bahwa masalah tujuan pendidikan saat ini, khususnya di Indonesia, merupakan masalah pengembangan kepribadian yang harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh demi tercapainya kemajuan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar