Apakah tujuan dari pendidikan itu? Pertanyaan itu selalu muncul di kalangan orang yang tidak mampu mengemban
pendidikan secara total maupun di kalangan orang ‘berpendidikan’ sekalipun. Ketika orang mendengar kata ‘pendidikan’ tentunya
mereka akan berpikir tujuan apa yang hendak dicapai oleh kegiatan ‘pendidikan’
tersebut. Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, dan H. Zakky
Mubarak menulis sebuah buku pengembangan kepribadian yang mengemukakan tujuan
dari pendidikan sebenarnya dengan mengkaji dasar-dasar yang dibutuhkan dalam
usaha penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika, Etika, dan Kekuatan dan
Keutamaan Karakter.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Bagus Takwin,
Lamuddin Finoza, H. Zakky Mubarak. 2011) pendidikan adalah aktivitas untuk
menghasilkan manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah; berdiri
tegak karena kekuatan sendiri; dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib.
Sesuai dengan tujuannya, untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas maka
Filsafat, Logika, Etika, Kekuatan dan Keutamaan Karakter menjadi hal yang
sangat pokok agar seseorang mampu mengembangkan kepribadian yang baik untuk
dapat terjun ke masyarakat.
Kajian pertama adalah Filsafat. Apakah Filsafat
itu? Dalam bentuk nomina, filsafat dapat
diartikan sebagai suatu sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang
dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematik, dan universal.
Radikal berarti mendalam (deep thinking).
Sistematik adalah logis, menggunakan premis-premis secara benar sebelum
menyimpulkan sesuatu. Berpikir secara universal berarti luas, menyeluruh,
mendunia, berlaku untuk semua orang, tidak picik, tidak terbatas pada suatu
bangsa, negara, lingkungan, kelompok, atau masyarakat tertentu saja.
Kajian
kedua adalah Logika. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip,
hukum, metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang
benar. Di dalam kajian Logika juga dikenal Sesat Pikir yang berarti kekeliruan
dalam penalaran berupa penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang
tidak sah, yang disebabkan oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi (dalam Takwin. 2011 : 67) sesat pikir adalah perbincangan yang mungkin terasa betul, tetapi setelah diuji terbukti tidak betul. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan dan diwaspadai agar tidak terjadi salah pengertian dalam mengartikan suatu hal.
Kajian ketiga adalah Etika. Bertenz (dalam Mubarak. 2011 : 97) menyatakan bahwa etika berarti ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan demikian, seseorang mencari orientasi dan menetapkan cara-cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, tidak ikut-ikutan saja dengan berbagai kalangan, tetapi memiliki pedoman yang diikuti dan sesuai dengan pilihan hati nurani dan dapat mempertanggungjawabkannya (Magnis-Suseno dalam Mubarak. 2011 : 97). Berbeda dengan ajaran moral, ajaran moral berupa
ketetapan-ketetapan, pakem, kumpulan peraturan, pedoman-pedoman – baik lisan
maupun tertulis – yang bersumber dari agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan
sumber-sumber lain yang mengatur perilaku agar menjadi manusia yang baik.
Seseorang bebas bertindak sesuai dengan etika dan moral yang telah ditetapkan. Tindakan
seseorang tersebut akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap dirinya
apakah tindakannya bermoral/etis atau tidak bermoral/tidak etis. Berbicara
tentang kepribadian moral yang kuat, sikap realistis dan kritis merupakan wujud
dari hal yang terpuji dari orang-orang yang mengembangkan etika dan moral.
Dengan sikap ini, orang melihat segala sesuatu yang dihadapi sesuai dengan
kenyataan yang ada, tidak menolak realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Tanggung jawab moral menuntut agar seseorang terus-menerus memperbaiki apa yang
dihadapi supaya menjadi lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan
dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih bahagia.
Kajian yang terakhir adalah Kekuatan dan Keutamaan
Karakter. Karakter yang
kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan
keunggulan manusia. Ki
Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan
manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan karakter yang kuat
(Dewantara dalam Takwin. 2011: 115). Pembentukan
karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada akhirnya,
orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia,
mandiri, dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Menurut Seligman
(dalam Takwin. 2011: 115), tidak ada jalan pintas untuk mempersingkat
pencapaian kebahagiaan. Jadi, jika kita ingin bahagia, maka kita harus mulai
dengan belajar berfikir positif, memandang hidup dan orang lain sebagai hal
yang baik, serta memaknai dunia dan
seisinya sebagai kebaikan yang dianugerahkan kepada kita.
Melihat pembahasan di atas, terlihat bahwa tujuan pendidikan merupakan masalah pembentukan kepribadian agar seseorang
mampu berkembang di masyarakat dan mampu memberikan kontribusi secara nyata
untuk diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Pendidikan memperjuangkan kapabilitas seseorang agar mampu
berfungsi di masyarakat sesuai dengan peran dan kemampuan yang dimiliki. Masih banyak orang yang membutuhkan pendidikan secara utuh, penuh,
dan berkualitas. Uraian Takwin, Finoza, dan Mubarak itu dapat dikaji untuk menunjukkan bahwa masalah tujuan pendidikan saat ini, khususnya di Indonesia, merupakan masalah pengembangan kepribadian yang harus dilaksanakan
secara sungguh-sungguh demi tercapainya kemajuan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar