Dinasti
politik merupakan permasalahan yang disinyalir telah ada di Indonesia sejak
presiden pertama kita, Ir. Soekarno, berkuasa. Meskipun dinasti politik tidak
melanggar peraturan berdemokrasi, dalam praktiknya dinasti politik menahan adanya
mobilisasi sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan pada golongan masyarakat
tertentu saja. Dalam makalah ini, penulis akan membahas dengan sistematis dinasti
politik yang dilakukan oleh Bupati Kediri, Sutrisno, yang mengusung kedua
istrinya menjadi bupati setelah masa jabatannya (dua periode) habis.
A.
LATAR BELAKANG
Undang-undang
nomer 7 tahun 1945 telah mengatur bahwa masa jabatan eksekutif berlaku selama
lima tahun, dan hanya dapat terpilih satu periode setelah masa tersebut habis.
Undang-undang ini dibuat untuk mencegah adanya kekuatan absolut yang terus
menerus. Beberapa golongan yang telah lama berkuasa, kebanyakan akan mencari
cara untuk lolos dari undang-undang ini dan tetap mempertahankan kekuasaannya
di strata atas elit politik.
Apa
yang dilakukan Sutrisno merupakan salah satu contoh nyata dinasti politik di Indonesia.
Kedua istrinya, Haryati dan Nurlaila, bersaing untuk memperebutkan gelar bupati
suaminya. Sutrisno sendiri telah menjabat di Kediri selama dua periode (sepuluh
tahun) lamanya.
Jelas
pencalonan kedua “nyonya Sutrisno” ini menimbulkan banyak tanda tanya di benak
masyarakat Kediri: apakah ini merupakan bentuk dari perpanjangan tangan suaminya untuk mengatur Kediri lebih
lama. Apabila salah satu dari kedua istrinya terpilih, maka secara tidak
langsung, keluarga Sutrisno akan berkuasa selama lima belas tahun di wilayah
tersebut.
Kasus
ini menjadi momok yang menarik, terutama apabila kita melihatnya dalam kacamata
demokrasi sosial. Penulis akan membahas mengenai permasalahan ini lebih jauh
dalam bab II.
B. PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP
Masalah-masalah di dalam makalah ini dirumuskan menjadi
beberapa pertanyaan:
1. Apakah dinasti politik?
2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya dinasti
politik?
3. Mengapa banyak penguasa yang melakukan dinasti politik?
4. Manfaat dan kerugian apa yang ditimbulkan oleh dinasti
politik?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Tujuan Penulisan
Paper ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut tentang dinasti
politik yang terjadi di Indonesia dan, dan bagaimana tanggapan kita seharusnya
pada hal tersebut. Selain itu, paper ini ditukis dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah MPKT yang merupakan rangkaian dari PDPT UI.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara aplikatif penulisan karya tulis ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi
para mahasiswa sebagai bahan kajian serta referensi untuk penelitian
selanjutnya
b. Secara praktis penulisan karya tulis ini diharapkan
dapat memperluas pengetahuan dan cakrawala pemikiran penulis terutama pembaca
pada umumnya.
D. METODE ANALISIS
Karya tulis ini disusun atas dasar tersedianya data dan
informasi yang relevan dengan masalah yang akan dibahas, untuk mendapatkan data
dan informasi menganai suatu masalah dalam melaksanakan kegiatan ini, penulis
menggnakan cara mengumpulkan data dan menelaahnya dengan metode studi
keperpustakaan.
E. HIPOTESIS
Praktek dinasti politik disinyalir penulis sebagai sebuah
upaya untuk mempertahankan kekuasaan. Kedudukan dalam pemerintahan akan
ditanggalkan dalam batas waktu tertentu; hal ini menyebabkan beberapa golongan
menginginkan status quo agar golongannya bisa tetap berada di posisi atas.
Semakin tinggi posisinya, maka akan semakin besar juga kemungkinan untuk
melakukan dinasti politik.
Pencalonan bupati Kediri yang dilakukan Sutrisno
kemungkinan merupakan sebuah permainan politik dalam badan Pemerintahan Kediri sendiri. Sebab apabila salah satu istri
dari Sutrisno menjabat, akan ada kemungkinan bahwa staf pemerintahan lama akan
mendapat kemudahan menjabat lagi. Hal ini dapat menyebabkan sebuah kerjasama
dalam pelaksanaan dinasti politik, tidak hanya di bidang eksekutif, namun juga
di dalam badan pemerintahannya sendiri.
F. SISTEMATIKA
PENULISAN
Paper in terdiri atas tiga bab di mana:
1.
Bab I merupakan
pendahuluan, berisi latar belakang, perumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan
dan masalah, metode analisis, hipotesis, serta sistematika penulisan.
2.
Bab II berisi
tentang isi dari paper ini, yaitu membahas tentang pencalonan bupati Kediri.
3.
Bab III adalah
kesimpulan dari paper ini yang disertai dengan saran
dan daftar pustaka.
BAB II
ISI
POLITIK DINASTI
Apakah wajar apabila jabatan seorang
kepala pemerintahan diteruskan oleh istri, anak , atau kerabat dekatnya? Di
negara kita sedang terjadi praktek penerusan kekuasaan pada orang-orang
terdekat. Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari
lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik yang
dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan
politik atau aktor politik yang
dijalankan secara turn-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun
kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap
perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang
jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada
prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih
dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti politik
sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada
masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam
perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh
di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dynast
politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki,
dimana pada system monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada
putra mahkota dalam kerajaan tersebut.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam
keluarga Presiden pertama Indonesia, Preseiden Soekarno. Hal tersebut terbukti
dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai
seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno Putri (yang akhir-akhir ini juga
semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik Indonesia pada diri anaknya
–Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll. Dalam tatanan kontempoerer, dinasti
politik juga sekarang terlihat muncul pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia
Alm K.H. Abdurrahman Wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan
juuga anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan
dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini Susilo
Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya Eddie Baskoro yang
berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.
Etika adalah sesuatu yang berkenaan
dengan akhlak, nilai mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk. Ada nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat, nilai tentang sesuatu yang pantas untuk dilakukan dan tidak pantas
untuk dilakukan. Bila dianalisis dari segi etika, politik dinasti tidak baik
apabila dilakukan oleh elit politik.
Kalau seseorang elit politik maju
dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial,
maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot.
Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun dengan
sistem nepotisme.
Pembentukan
politik dinasti akan menciptakan tatanan politik yang tak sehat. Walaupun
menurut undang-undang hal itu tak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai
dengan etika.
Menurut
Zulkieflimansyah[1], apabila politik dinasti ini diteruskan, akan
muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan
partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal
partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini,
rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk
meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan
selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui
proses kaderisasi.
Kedua,
sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan
masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan
hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat
potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam
menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya
mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik
dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan
tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari dinasti politik yang paling sering
kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak
kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang
yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga. Di
samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin
atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
Sebagai contoh, marilah kita baca cuplikan berita berikut ini:
Politik Dinasti,
Abaikan Nurani
Belakangan ini upaya alih kekuasaan dari suami ke istri, atau dari
bapak ke anak, cenderung mengalami peningkatan mencengangkan. Dari fenomena
itu, tentu yang paling mencolok, terjadi pada Pemilukada Kabupetan Kediri, yang
bakal digelar 12 Mei 2010 mendatang.
Dua istri
bupati disebut-sebut akan bersaing ketat dalam perhelatan Pemilukada tersebut.
Yakni Hj Haryanti, yang tercatat sebagai istri sah Bupati
Kediri saat ini, Sutrisno sertaHj Nurlaila, tercatat sebagai istri
kedua dengan status nikah sirri. NurIaila juga dikenal sebagai Kepala Desa
Wates, Kecamatan Wates. Sedangkan suami pertamanya meninggal dunia karena
perampokan beberapa tahun silam.
Lantas
mengapa kedua istri Bupati Kediri tersebut bersaing untuk memperebutkan kursi
kepala daerah menggantikan suaminya, yang jabatannya akan resmi berakhir 19
Agustus 2010 mendatang ? Kalau bersaing untuk merebut hati sang suami, mungkin
masih sah-sah dan wajar saja. Tapi, kalau sampai bersaing secara terbuka demi mewarisi
jabatan empuk sang suami, sungguh sulit diterima akal sehat.
Apa pun
yang melatari keinginan kedua istri bupati itu, tampil secara bersama-sama
dalam pemilihan kepala daerah, dapat dipastikan sang suami sudah mengetahui
rencana itu sebelumnya. Tidak tertutup kemungkinan Sutrisno memang menginginkan
dirinya digantikan oleh salah satu di antara kedua istrinya.
Namun kalau mau jujur, dari
segi kalkulasi politik, akan lebih memungkinkan meraih kemenangan, jika yang
maju dalam bursa pencalonan, hanya satu di antara keduanya. Misalnya cuma istri
tua yang maju, dan istri muda yang juga punya basis massa sangat signifikan
itu, turut aktif memberikan dukungan.
Bila
keduanya harus saling berhadap-hadapan, hal itu bermakna, di antara kedua istri
bupati, selama ini memang senantiasa terjadi persaingan terselebung. Kini,
persaingan itu akan semakin menajam, serta terbuka ke area publik. Atau,
jangan-jangan Sutrisno memang sudah punya kalkulasi sendiri, bahwa keduanya
memang sengaja dianjurkan untuk maju, sehingga siapapun yang bakal menang,
tetap bahagian dari rezim lama alias istrinya juga.
Peluang
menang bagi Haryanti dan Nurlaila memang relatif besar. Sebab, sebagai pejabat incumbent, Bupati Sutrisno sudah barang
tentu memiliki banyak ‘peluru’ untuk menembak kandidat lain yang dianggap
potensial, agar tak turun gelanggang. Alhasil, yang muncul menjadi pesaing
kedua istrinya, hanyalah sejumlah kandidat, yang sejatinya tidak memiliki modal
cukup untuk bersaing dalam meraih kemenangan.
Fenomena
yang terjadi di Kediri tersebut, ternyata juga menjadi trend di sejumlah
kabupaten/ kota di Sumatera Utara dan mungkin juga di daerah lainnya. Di
Kabupaten Asahan misalnya, Bupati Drs H Risuddin kini mendukung istrinya
sendiri, Hj Helmiati untuk maju menggantikan dirinya sebagai
bupati.
Demikian
halnya di Kabupaten Labuhan Batu, Bupati HT Milwan juga telah lama
mempersiapkan istrinya Hj
T Adlina bersaing dalam
Pemilukada. Sementara di Kota Tebingtinggi, Walikota Abdul Hafiz Hasibuan
tengah memoles dan bekerja ekstra keras mendudukkan adiknya Umar Zunaidi
Hasibuan menjadi pengganti dirinya.
Sebenarnya
politik dinasti ini tak cuma berlaku di Indonesia. Di negeri lain, seperti AS,
India, Malaysia, Philipina, dan lainnya, juga terjadi hal serupa. Politik
dinasti, memang tak selamanya negatif. Misalnya seorang Hillary Clinton, yang
notabene istri mantan Presiden Bill Clinton, memang layak menjadi kandidat
Presiden AS.
Pertanyannya,
apakah istri Bupati Kediri dan yang lainnya itu sudah memenuhi syarat sebagai
kepala daerah ? Jawabnya tak ada di sini. Kita cuma bisa berharap ; segeralah
bercermin dan introspeksi diri.
Memaksakan
istri, anak dan menjadi pengganti di kursi kekuasaan, apalagi tanpa didukung
kualitas dan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan, selain tak sesuai
nurani, juga potensial memunculkan bumerang dan menuai penyesalan di kemudian
hari. Karenanya, sebelum terlambat, segeralah berhenti melakoni politik dinasti
yang irasional itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik dinasti sudah mulai marak di
Indonesia, terutama pada pencalonan kepala daerah di Kabupaten/Kota. Tidak
jarang calaon yang maju sebagai kepala daerah mempunyai hubungan kekerabatan
dengan kepala daerah yang sedang menjabat. Contoh yang paling nyata adalah di Kediri,
Jawa Timur. Dua calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah adalah
istri-istri dari Bupati yang sedang menjabat. Hal ini jelas menunjukkan adanya
politik dinasti.
Politik dinasti memunculkan banyak
pro dan kontra. Ada yang menganggapnya baik karena kestabilan politik terjaga
dan banyak pula yang menganggap bahwa politik dinasti hanyalah alat yang
digunakan para pejebat untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, politik
dinasti juga mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk berpartisipasi lebih
untuk menjadi kepala daerah karena biasanya calon pemimpin hasil dari politik
dinasti lebih banyak dukungan.
Memang,
hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Tapi apakah dengan hanya
berbekal mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa seseorang dapat dengan
leluasa mencalonkan diri? Inikah yang harus diperbaiki oleh pemerintah agar
calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah tidak hanya berdasarkan koneksi
dan kesempatan tetapi juga didukung dengan kualifikasi yang mumpuni untuk
menjadi kepala daerah sehingga memajukan daerah yang dipimpinnya.
B. Saran
Dari berbagai pembahasan dan
kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan dari kelompok kami adalah :
- Dibuatnya
regulasi yang persyaratan pencalonan kepala daerah sehingga mempunyai
kualifikasi yang memadai.
- Diadakan
tes, baik secara tertulis maupun lisan berupa fit and proper test untuk menilai kemampuan calon kepala
daerah dalam berbagai bidang, sehingga didapat calon kepala daerah yang
tidak hanya berbakat dalam memimpin, tetapi juga mempunya dasar dan
kompetensi yang cukup untuk menjadi kepala daerah.
- Meningkatkan tingkat perhatian dan partisipasi dari
masyarakat sehingga sadar dan berpartisipasi lebih dalam menentukan
pilihan mereka terhadap para calon kepala daerah.
Daftar
Pustaka
Zulkieflimansyah. “Dari
Politik Dinasti, Nepotisme Kekuasaan ke Budaya Partisipan.” http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1386&page=1
(Diakses pada Minggu, 27 November 2010 pukul 20.00)
Keno, Mike. “Politik Dinasti, Abaikan
Nurani.“
(Diakses
pada Minggu, 27 November 2010 pukul 20.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar